RESENSI BUKU ANDY NOYA: KISAH HIDUPKU

Resensi Buku Andy Noya: Kisah Hidupku


Judul               : Andy F. Noya: Kisah Hidupku
ISBN               : 9789797099541
Penerbit           : Kompas
Penulis             : Robert Adhi Kusumaputra
Tahun Terbit    : Juli 2015
Halaman          : 418 halaman + xiv
Bahasa             : Indonesia
Harga               : Rp89.000,00

Ratusan kisah inspiratif telah diangkat melalui program yang satu ini. Pemirsa sebagai konsumen media tak dapat membendung kemauan mereka untuk mengetahui seluk beluk kehidupannya. Sepak terjang sosok yang selalu mengulik perspektif unik dari seseorang ini lantas mendorong hati banyak penulis untuk menuangkan perjalanan hidupnya ke dalam sebuah buku, termasuk Robert Adhi Kusumaputra. 

Perawakannya sederhana. Dikenal dengan rambut kribonya yang kemudian diplontos botak, Andy F. Noya kini menjadi salah satu tokoh ternama di dunia jurnalistik dan filantropis. Wajahnya, karyanya, hingga prestasinya tak lagi menjadi rahasia di depan layar kaca. Siapa sangka, pria berdarah Belanda-Jawa-Ambon-Portugis ini mulai menapaki karirnya dari bawah. Jangankan memiliki program acara televisi sendiri, untuk tinggal di rumah beratap dan makan nasi hangat pun belum tentu dapat terpenuhi.

Kerasnya hidup dipahami dan dirasakan betul oleh Andy Flores Noya, atau yang kerap kali disapa Andy. Lahir di keluarga yang bergaris darah Belanda membuatnya susah untuk bertahan dari perilaku-perilaku tak menyenangkan oleh teman-teman sepantarannya. Ia dicap sebagai salah satu anak Belanda yang membuat bumi pertiwi harus mengalami kesengsaraan selama 3,5 abad lamanya.

Silsilah keluarga Andy sedikit rumit. Ayahnya adalah seorang duda yang ditinggalkan dengan dua anak – Raffie dan Carry. Dari hasil perkawinan kedua ayahnya, ibu Andy lalu melahirkan tiga buah hati yang diberi nama Gaby, Yoke, dan si bungsu Andy. Jumlah anggota keluarga yang banyak ditambah lagi dengan kondisi keuangan keluarga yang tak menjanjikan membuat Andy harus menelan “pil pahit” selama masa kecilnya.

Memiliki rumah dan kamar sendiri adalah mimpi yang tak berani dimimpikan oleh Andy semasa kecilnya. Pasalnya, keluarga mereka harus bertahan hidup hanya dengan tinggal di garasi atau ruangan sempit yang berada di pinggir rumah kerabat ibunya. Demi menghemat biaya hidup, kedua kakak perempuan Andy – Gaby dan Yoke pun dititipkan ke asrama sedangkan Andy yang masih kecil saat itu diasuh oleh ibunya.

Perjalanan hidup Andy tak lepas dari petualangannya menyisiri pelosok-pelosok Nusantara. Kota Malang, Surabaya, Ternate, dan Jayapura pernah menjadi tempat penuh kenangan bagi masa kecil Andy. Ketika beranjak remaja, Andy dan keluarga pindah ke Jayapura. Di sana, Andy hidup bersama dengan ayahnya dan memilih untuk masuk ke Sekolah Teknik yang jika dibandingkan dengan saat ini sebelas dua belas dengan SMP. Selayaknya remaja pada umumnya, Andy gemar melakukan banyak hal, mulai dari belajar, mengikuti organisasi, tergabung dalam klub olahraga, dan tak lupa juga menggait wanita.

Tahun demi tahun berlanjut hingga akhirnya Andy harus memilih sekolah tinggi apa yang ia ingin ambil. Wajarnya, siswa STN mengambil STM. Akan tetapi, suara hati Andy berkata lain dan entah mengapa ia sangat ingin masuk ke STP (Sekolah Tinggi Publisitas). Entah bakat lahir atau terdesak dengan kebutuhan ekonomi, karya tulisan seperti cerpen dan artikel yang ia buat berhasil dimuat di mading dan media cetak. Karikatur dan kartu ucapan hasil tangan Andy pun ternyata laris manis. Angka yang sangat lumayan pada saat itu (1980-an) untuk menambah uang jajan.

Masa-masa sekolah Andy dengan demikian telah usai. Pertengahan tahun 1985 adalah awal dari karir Andy sebagai seorang jurnalis. Saat itu, lowongan kerja untuk projek penerbitan buku “Apa dan Siapa Orang Indonesia” terbitan PT Grafiti Pers (penerbit majalah Tempo) sedang dibuka. Singkat cerita, mulanya Andy enggan mencoba karena merasa peluang terlalu kecil. Namun, yang namanya jodoh tak lari ke mana. Keputusan Andy untuk tidak mendaftarkan diri berubah ketika ia menemani temannya yang hendak mendaftar. Di momen itu pula Andy bertemu dengan istrinya, Retno Palupi yang pada saat itu adalah seorang sekretaris.

Setelah diberi akses untuk masuk ke ruang wawancara, Andy berhasil diterima menjadi reporter junior di PT Grafiti Pers. Dengan proses pendekatan yang tak berbelok-belok, Retno yang akrab dipanggil Upik berhasil ditaklukkan Andy. Perbedaan usia dan kemapanan dalam urusan ekonomi tak menjadi masalah berarti dan pada 21 Februari 1987, kedua pasangan ini resmi mengikat janji pernikahan

Berkat asam garamnya di PT Grafiti Pers, banyak pemimpin redaksi media  nasional yang melirik kemampuannya. Empat tawaran kerja berdatangan dalam waktu yang sama, yaitu Prioritas, Neraca, PT Grafiti Pers, dan Bisnis Indonesia. Tak mau berlama-lama dalam kebingungan, suami Upik ini memutuskan untuk cemplung ke empat media tersebut. Pagi hari ia ke Grafiti Pers, siang ke Neraca, sore ke Bisnis Indonesia, dan seminggu sekali ke Prioritas untuk ikut pelatihan.

Tak mampu lagi bernomaden, Andy dihadapkan dengan empat pilihan. Pada akhirnya, pilihan Andy jatuh kepada Bisnis Indonesia, koran segmentasi ekonomi yang diterbitkan oleh Grafiti Pers. Prioritas ia tolak karena permasalahan SIUPP yang lama keluar. Setelah merasa cukup memiliki pengalaman sebagai reporter bisnis, Andy pindah ke Matra – majalah lifestyle khusus pria. Beragam tulisan mengenai dunia prostitusi telah ia tulis hingga kejenuhan melanda benak Andy. Ia merasa kemampuannya sebagai seorang jurnalis sudah tumpul karena terlalu lama meliput kasus-kasus prostitusi. Di saat itulah, Surya Paloh menawarkan posisi pemimpin redaksi di Media Indonesia kepada Andy.

Kisah Andy di dunia jurnalistik didominasi pada saat dirinya berada di bawah naungan Surya Paloh. “Kejujuran dan harga diri merupakan prinsip yang aku pegang dan junjung tinggi dalam hidupku.” Kalimat itu menjadi landasan utama Andy dalam menjalankan profesinya sebagai seorang jurnalis, di mana pun perusahaan media yang ia pilih. Dalam buku ini, Andy tak ragu untuk menceritakan bagaimana sosok Surya Paloh sebagai pemimpin yang fleksibel, cepat mengambil keputusan, dan bijaksana kemudian lambat laun mulai bergeser karena kepentingan politik. Menariknya, Andy mampu mengontrol diri untuk dapat memegang kokoh prinsipnya sebagai jurnalis profesional namun tetap dipercaya kualitasnya oleh Paloh.

Merasa cukup pengalamannya di media cetak, Andy kemudian tergiur untuk masuk ke Seputar Indonesia. Selama di Seputar Indonesia, Andy banyak diberikan kesempatan untuk meliput peristiwa-peristiwa besar di Indonesia, salah satu yang berkesan adalah liputan konflik referendum di Timor Timur. Selain bertempur di lapangan mencari berita, ia berkesempatan pula untuk mengikuti program beasiswa di luar negeri, di antaranya beasiswa dari Kedutaan Amerika Serikat di Jakarta dan beasiswa program IDEAS-Indonesia di Sloan School of Management, Boston, Amerika Serikat untuk memperdalam ilmu jurnalistiknya. Selang satu tahun, Surya Paloh kembali memanggil Andy untuk kembali bekerja bersamanya. Demi mempertahankan Andy, Paloh bahkan merencanakan pendirian televisi swasta sendiri yang kemudian diberi nama Metro TV.

Walau sudah berada di posisi puncak, Andy merasa bahwa masih ada PR yang belum ia selesaikan. Ia merasa sudah saatnya untuk tidak hanya terus menerus menerima, namun juga memberi. Berawal dari motivasi Surya Paloh, Andy akhirnya berhasil memiliki program sendiri yang diberi nama “Kick Andy”. Melalui program ini, ia kemudian banyak mengangkat kisah-kisah inspiratif. Yayasan Kick Andy dan Yayasan Rama-Rama juga ia dirikan sebagai wujud pengabdiannya kepada masyarakat dan rasa ingin berbaginya kepada orang-orang sekitar.

Robert Adhi Kusumaputra yang terkenal melalui buku "Panggil Aku King" (2009) ini memiliki kejelian dalam pemilihan tokoh utama buku biografinya. Selama ini, program Kick Andy hanya sibuk mengangkat kisah orang lain. Hingga buku ini beredar di pasaran, belum pernah ada artikel, program acara, ataupun buku yang pernah mengisahkan perjalanan hidup seorang Andy F. Noya. Tak heran apabila khalayak penasaran dengan pengalaman hidup yang dijalani Andy hingga mampu tumbuh menjadi seseorang yang sukses dan sekaligus menjadi panutan bagi masyarakat. Walaupun hanya berawal dari celetukan, akhirnya setelah melewati satu tahun proses wawancara, biografi Andy berhasil diselesaikan dengan baik. Kedalaman informasi serta proses penggalian materi yang intensif menjadi salah satu kunci keunggulan buku biografi ini.

Penggunaan sudut pandang orang pertama “aku” menciptakan kedekatan psikologis antara Andy dan juga pembacanya. Pembaca serasa sedang mendengarkan kisah hidup ayah dari tiga orang anak ini secara langsung. Pemilihan kata “aku” ketimbang “saya” juga membuat jarak formalitas antara pembaca dan Andy semakin pendek. Pembaca dianggap seperti sahabat, bukan orang asing. Dengan demikian, pembaca pun akan lebih terbawa arus cerita yang disusun oleh Robert tersebut.

Minimnya cerita-cerita unik, konyol, dan tak terduga yang kita ketahui dari sosok Andy F. Noya membuat isi buku biografi ini menjadi lebih menarik. Buku ini seolah mengorek kisah Andy yang selama ini tak terekspos media. Sebut saja kisah Andy yang ternyata sampai sekarang tak pernah punya ijazah SD, kisah Andy yang ikut geng robus, cerita di balik baju ulang tahun spesial pemberian ibunya, dan masih banyak lagi.

Tak semua kisah menyenangkan atau kisah menyedihkan saja yang dipaparkan di sini. Mencoba untuk menampilkan biografi yang realistis, suasana yang dibangun dalam biogafi ini juga dinamis. Naik turunnya peristiwa tergambar jelas. Misalnya, ketika Andy yang memiliki teman sepermainan bernama Eyen lalu kemudian suatu hari di depan matanya Eyen tewas terlindas mobil. Ada juga cerita tentang bagaimana Andy yang pernah sekarat karena terkena teluh lalu diimbangi dengan kelucuan kisah masa remaja Andy yang beberapa kali pernah naksir dengan teman sekelas dan gurunya.

Di atas semuanya, hal positif yang memberikan kontribusi paling besar kepada para pembaca adalah bagaimana sosok Andy mampu menyalurkan nilai-nilai humanis yang ia miliki. Hal itu dapat dilihat dari bagaimana sukarnya perjuangan Andy semasa kecil untuk menghemat uang jajan per hari yang hanya lima ribu rupiah untuk ongkos pulang-pergi dan jajan serta kerja serabutan Andy sebagai penulis cerpen dan pembuat kartu ucapan untuk membantu keuangan keluarganya yang pas-pasan. Dari kesederhanaan itulah, suami dari Retno Palupi ini belajar untuk menjadi pribadi yang mandiri, disiplin, dan bertekad kuat.

Beberapa peristiwa yang menjadi turning point dari Andy turut ditulis. Andy yang saat itu mengendarai motor tak sengaja menyenggol sebuah mobil mewah dan dipaksa untuk membayar ganti rugi kerusakan mobil yang tentunya tidak sesuai dengan kondisi keuangan keluarganya. Pasca peristiwa hari itu, Andy menyimpulkan bahwa orang kaya sama saja dengan orang jahat dan secara tak langsung sejak saat itu juga aksi kejahatan pun mulai ia lakukan sebagai wujud balas dendam. Peristiwa lainnya adalah ketika Andy melihat majelis gereja yang mabuk-mabukkan dan tidak mencerminkan nilai Kristiani. Sejak saat itu, ia merasa bahwa memiliki iman tidak dapat dinilai dari seberapa sering umat pergi ke gereja.

Terlepas dari nilai humanis, Andy juga secara tidak langsung menjadi gambaran ideal bagi para jurnalis muda Indonesia. Rintangan yang berseberangan dengan idealismenya sebagai awak media selalu berhasil diselesaikan dengan gaya yang hanya Andy miliki – nyelekit tapi santai. Di salah satu bab, Andy berulang kali melakukan pemecatan terhadap orang-orang yang ia anggap melanggar aturan entah itu anak emas pemimpin media atau senior-senior yang usianya jauh lebih tua daripada dia. Bahkan, ketika ia sendiri melakukan pelanggaran, ia meminta untuk tidak diperlakukan secara spesial dan dengan lapang dada menerima sanksi.

Dikaji dari perspektif gaya penceritaan, penulis berusaha untuk tidak menjadikan buku biografi ini terkesan seperti buku dongeng yang hanya melulu mengisahkan cerita kehidupan pribadi Andy. Uniknya, di beberapa bagian penulis menyisipkan sepenggal cerita menarik yang berkaitan dengan pergolakan di Orde Baru dan awal reformasi ataupun hal-hal yang berkaitan dengan kegemaran Andy. Sebut saja cerita mengenai kesenian ludruk (kesenian khas Jawa Timur), Lutung Kasarung, sejarah tokoh nasional Supriyadi, perang Mahabrata (Bharatayuda), kemelut Tragedi Semanggi I, dan hiruk pikuk tragedi bom WTC Bali. 

Penulis tidak hanya mencantumkan, tapi mendeskipsikan secara rinci cerita dan suasana di zaman yang bersangkutan sehingga membangun theather of mind bagi para pembaca. Penggalan informasi tersebut juga memberikan edukasi tambahan kepada pembaca mengenai berharganya sejarah dan kebudayaan tradisional dalam membangun negeri Indonesia. Sejumlah stereotipe miring terkait isu-isu kepentingan media massa yang dipengaruhi oleh keadaan politik, ekonomi, dan sosial budaya di zaman itu juga berhasil dipatahkan lewat penuturan Andy.

Keunggulan buku ini juga terletak pada penggunaan diksi yang kaya dengan istilah-istilah khusus, seperti ngoyo, jagongan, mblobor, blontang-blontengmemelonco, dan lain-lain. Walaupun beberapa di antaranya adalah bahasa yang tidak familiar di mata pembaca, namun di bagian belakang buku disediakan indeks yang mampu menjelaskan arti dari istilah-istilah tersebut. Pemakaian istilah non-umum ini juga membangkitkan unsur bahasa daerah sebagai salah satu bagian dari kebudayaan Indonesia.

Yang membuat proses pemahaman biografi pada buku ini hanya terletak pada penataan alur cerita kombinasi (maju mundur) ditambah lagi dengan latar tempat yang berpindah-pindah. Penulisan dengan alur bolak balik ini membuat pembaca sedikit terkecoh dan harus kembali melihat halaman sebelumnya untuk memastikan bahwa mereka tidak salah kaprah. Contohnya ketika cerita tentang Andy yang diteluh dan harus hijah ke Ternate. Setelah subbab tersebut usai, penulis kemudian kembali ke kisah Andy sebelum ia berpindah ke Ternate.

Perintilan-perintilan kecil lainnya seperti informasi mengenai keberadaan ayah Andy yang sempat hilang di beberapa subbab membuat pembaca bingung apa yang terjadi dalam rumah tangga keluarga Andy. Namun, hal tersebut tidak menjadi kendala berarti karena menjelang subbab akhir cerita ayah Andy dengan keluarganya mulai dibahas satu per satu.

Singkat cerita, buku ini cocok dibaca untuk kalangan remaja dan dewasa, terlebih bagi mereka yang menggeluti bidang jurnalistik dan sedang mengalami pergulatan batin melawan kepentingan perusahaan media layaknya Andy. Tak hanya bagi mereka yang berkecimpung sebagai jurnalis, mereka yang pernah atau sedang mengalami kesulitan ekonomi dan ingin bangun dari keterpurukan menjadi seseorang yang sukses namun tetap tak lupa daratan juga dapat menemukan pencerahan melalui buku ini. Gaya bahasa yang tidak berat, penceritaan yang tidak neko neko, dan pesan-pesan positif yang disampaikan dalam buku ini agak sayang jika dilewatkan.

Mengenal sosok Andy Flores Noya melalui buku ini membukakan mata kita untuk menjadi individu yang pantang menyerah dan tak boleh takluk akan kemiskinan. Segala kekurangan yang ada dalam masa lalu tidak perlu malu untuk diceritakan kepada orang banyak karena bagaimanapun juga masa lalu adalah bagian dari perjalanan hidup. Berpegang teguh terhadap peraturan dan prinsip menjadi sangat penting untuk membangun kredibilitas dan kualitas diri. Tapi, jangan lupa bahwa ketika kita berada di atas liriklah juga apa yang ada di bawah.

“Tidak perlu menunggu untuk bisa menjadi cahaya bagi orang-orang di sekelilingmu. Lakukan kebaikan, sekecil apa pun, sekarang juga!”

Kiranya kutipan dari Andy ini mampu memicu kita semua untuk mulai melakukan perubahan positif dari sekarang, sekecil apapun wujudnya.

                                                                             ---

WINDA PRISILIA
13140110036     
Mahasiswi Fakultas Ilmu Komunikasi
Program Studi Multimedia Jurnalistik
Universitas Multimedia Nusantara
2016

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

WELLY MERCK: A LUXURY SWISS WATCH REVIEW AND REAL SHOTS